Pesan bijak vikar

Sabtu, 19 Februari 2011

REMINDER TOOL



“Jadi untuk ingat aku, kamu juga harus catat di reminder ponsel kamu. Apa sih yang ada di kepala kamu? Masa iya, buat ingat pacaran pun, harus pakai alat!”

MUNGKIN ini penyakit, pikir Hans. Kalaupun bukan, yang jelas telah menyiksa perasaannya, sekaligus merugikan dirinya. Selama ini dia selalu ikut tertawa jika teman-temannya memanggilnya Si Pikun, padahal hatinya selalu bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan dirinya? Setiap membuat janji, dia pasti ingkar gara-gara lupa. Setiap ada kegiatan yang waktunya nggak rutin, dia pasti absen karena lupa. Kalau ke sekolah jadwalnya nggak tiap hari, mungkin dia akan pernah nggak masuk sekolah, karena lupa. Bukan hanya teman sekolah, semua orang di rumah pun sudah jadi korban karena pelupanya.
Bulan lalu, dia tak ikut piknik ke Malino bersama teman-teman kursus komputernya, apa lagi sebabnya kalau bukan karena lupa. Secara logika, piknik ke Malino saat itu nggak mungkin akan Hans lupa. Pertama, karena di setiap hari kursus, hal itu diperbincangkan dengan teman-temannya. Bahkan sehari sebelumnya, dia sudah menyempatkan diri belanja keperluan di Malino, mulai dari snack hingga minuman kotak. Tapi toh? Dia memang pantas dipanggil sebagai Si Pikun. Jika dihitung-hitung, kerugian materi karena sudah belanja aneka macam keperluan untuk dipakai di pegunungan dingin Malino, tidaklah seberapa. Yang paling merugikan, karena salah seorang teman kursusnya sudah diincar sejak pertama masuk kursus. Gina, merasa akan ditembak saat di Malino kelak. Tapi semua hancur, gara-gara memori Hans yang bervirus hingga sering “hilang ingatan”.
“Hans, jangan bilang kamu lupa jemput adikmu!” todong mamanya saat Hans masuk rumah, tanpa Sisi di sampingnya.
Hans memukul jidat. Tadi pagi sebelum ke sekolah, mamanya berkali-kali mengingatkan dia untuk menjemput adiknya di sekolah. Tapi, lagi-lagi lupa!
“Apa sih yang ada di kepalamu, Hans? Lupa dan lupa terus. Kamu nggak kasihan sama adikmu, nunggu di halte sampai siang menjelang sore gini?”
“Maaf, Ma!”
“Nggak usah minta maaf! Cepat balik, cari adikmu!”
Hans hanya melempar tas ke sofa, lalu melaju bersama Honda barunya. Rasanya nggak masuk akal, jika untuk menjemput Sisi, Hans sampai lupa. Motor barunya itu hasil rengekan selama satu semester. Mamanya baru tergoda untuk membelikannya motor, saat Hans mengajukan alasan hemat biaya, karena dia bisa menjemput adiknya sepulang sekolah.
Dia tahu sekali, sebagai bungsu dan satu-satunya cewek di rumah, Sisi sangat disayang. Karena itu dia mengangkat nama Sisi untuk dijadikan alasan. Kalau begini terus, bisa-bisa motor yang separuh harga itu masih dibayar cicil, ditarik dealer jika mamanya jengkel dengan kebiasaan buruknya itu.
Dalam perjalanan menjemput Sisi, dia sibuk mencari akal untuk menghapus sifat pelupanya. Dia bisa bayangkan akan kena marah, jika papanya tahu kalau dia lupa menjemput Sisi. Untung kalau Sisi nggak ambil insiatif untuk naik ojek karena kelamaan menunggu. Sejak Sisi naik kelas satu SLTP, papanya melarang keras Sisi untuk naik ojek. Begitu banyak pertimbangan, apalagi kalau bukan khawatir Sisi, yang menurut papanya sudah beranjak remaja, akan dibawa lari tukang ojek. Hans terkadang ingin menentang pendapat papanya saat selalu mengkhwatirkan anaknya hingga berkesan phobia.
Hati Hans merekahkan senyum, saat matanya menangkap sosok Sisi yang duduk setengah lemas dan bersandar di halte bis.
“Kok lama amat sih?”
Hans mengembangkan senyum termanisnya sebagai tanda maaf. Tepat Sisi merapatkan duduk di belakangnya, HP Hans bergetar, SMS masuk. Dia memukul jidat, Sisi di belakangnya langsung tahu jika Hans lagi-lagi membuat kesalahan karena sifat pelupanya. SMS Gina mengingatkan dia, jika sekarang dia harus menjemput Gina untuk cari buku di Gramedia. Tadi dia lupa menjemput Sisi karena terlena akan jalan bareng dengan Gina. Tapi setelah berhasil menjemput Sisi, dia baru ingat jika dia melupakan janjinya untuk keluar bersama Gina.
Padahal ini kesempatan terakhir yang Gina berikan setelah berkali-kali dia melupakan acaranya bersama Gina. Dia merasa dipermainkan Hans. Hans punya cewek lain, itu yang sering ada di pikiran Gina.
Kepala Hans tampaknya tak bisa disinggahi banyak pikiran. Begitu juga dalam soal pelajaran, Hans selalu lupa dengan apa yang dijelaskan guru di kelas. Untuk mengantisipasinya, setiap pulang sekolah, Hans punya waktu 75 persen untuk mengulang kembali pelajaran yang didapatkannya di sekolah. Kalau nggak seperti itu, mungkin dia lebih dikenal sebagai Si Bloon daripada Si Pikun. Ya, gelar Si Pikun rupanya wajib dia syukuri.

Irwan, teman sebangkunya sering mengejeknya. Setiap jam istirahat, dia sering meminta bantuan Irwan untuk menerangkan kembali pelajaran yang baru saja didapatkan di kelas. Padahal saat guru menerangkan tadi, Hans sangat mengerti. Bahkan paling duluan mengerti, dan paling cepat tanggap saat guru mengeluarkan soal untuk diselesaikan di papan tulis.
“Hans, kalau guru abis ngajar, itu pelajaran di-save dulu di kepala sebelum pelajaran di-Shut Down. Masa sih belum sejam abis ngangguk-ngangguk ngerti, sekarang nanya lagi!”
“Aku juga nggak tahu kenapa, Wan? Kok bisa sih aku sepelupa itu?”
“Gimana ntar kalau udah punya anak atau cucu, mungkin udah hilang ingatan!”
“Husssh! Jangan cuma ngejek dong. Beri solusi!”
“Periksa ke psikiater. Tapi siap-siap aja rawat inap di rumah sakit jiwa!” lagi-lagi Irwan mengerjainya.
Dia hanya pasrah dengan ejekan untuk dirinya, juga dengan keputusan Gina kelak. Kalaupun Gina menuntut putus, setelah belum cukup sebulan jadian, Hans menerimanya pasrah. Dia akan belajar jalan sendiri, mengatur waktunya seefisien mungkin hingga tak ada yang tercecer hanya gara-gara lupa.
Hans meloncat dalam kamar. Dia baru sadar, mengapa dia tak mencatat semua jadwalnya dalam ponselnya. Memasukkannya dalam menu Reminder, hingga setiap kegiatan yang akan dilakukannnya diingatkan oleh alarm reminder ponselnya. Persoalan selesai, pikirnya! Tak akan lagi ada kesalahan yang akan berakibat kerugian karena sifat pelupanya. Gina yang telah lari darinya, dipastikan akan digaetnya kembali. Tak ada lagi gelar Si Pikun untukku, pikirnya!
Dan itu memang benar. Semua orang tertegun dengan perubahan pada diri Hans. Tak ada lagi yang terlupa. Kursus komputer yang dua kali seminggu. Main basket setiap Selasa sore di Karebosi. Apalagi menjemput Sisi. Dan lain-lain, tak ada lagi yang terlewatkan. Kecuali satu hal, posisi Irwan sebagai sahabat yang selalu menemani dia untuk mengulang kembali pelajaran setiap jam istirahat, tak bisa tergantikan dengan menu reminder. Tapi namanya juga sahabat, Irwan tetap saja menerima itu sebagai tanggung jawab, padahal meski tak masuk lima besar, Hans adalah orang yang patut diperhitungkan untuk menggantikan posisinya sebagai juara kelas. Hans cerdas, hanya saja dia sangat pelupa. Jika “ingatannnya” normal, dia tak akan menemui kesulitan untuk jadi juara kelas.
Tapi ketahuan “sembuh” gara-gara menu reminder ponselnya, Hans mendapat gelar baru, Mr. Reminder! Jika suatu saat ponselnya tertinggal, bisa dipastikan akan berakibat fatal buat Hans.
“Aku janji nggak akan mengulangi kesalahanku lagi, Gina. Kamu lihat sendiri kan, aku nggak pelupa lagi!”
Dia memberanikan diri untuk menemui Gina kembali, saat dia yakin kesalahan serupa tak akan diulanginya lagi.
“Jadi untuk ingat aku, kamu juga harus catat di reminder ponsel kamu. Apa sih yang ada di kepala kamu? Masa iya buat ingat pacaran pun, harus pakai alat!”
“Jangan pikir aku nggak tersiksa dengan semua itu, Gina! Aku juga ingin seperti orang lain yang ingatannya segar terus. Aku bahkan sering merutuki diri sendiri saat sadar bahwa ini adalah penyakit, tapi bisaku apa? Aku akan berjuang, melakukan apa pun, termasuk menjadikan ponselku sebagai pendamping setia untuk mengingatkan apapun yang berhubungan dengan kamu, di setiap detikku, asal kamu mau terima aku kembali.”
Gina mendesahkan napas, keras. Semenit kemudian, dia menerima uluran tangan Hans. Tentu saja, setelah meminta Hans berjanji untuk tidak lagi menyepelekan dirinya, dengan melupakan janji-janji yang Hans ucapkan untuknya.
“Jangan kecewakan aku, Sobat!” ucap Hans pada ponselnya setelah dia memastikan telah memasukkan agenda untuk berangkat piknik ke Tana Toraja, bersama teman-teman sekolahnya.
Asyiknya lagi, bersamaan dengan agenda sekolah Gina. Jadi bisa ketemuan di Tana Toraja. Hans sudah membayangkan hal-hal terindah yang akan dilaluinya bersama Gina di sana. Dia tak ingin kejadian beberapa bulan lalu, saat tak ikut piknik ke Malino gara-gara lupa, terulang lagi.
Hans mencatat jadwal piknik ini sejak rencana itu disetujui kepala sekolah. Dan barusan dia memastikannya lagi sebelum mengantar Sisi ke Gramedia. Tinggal menunggu alarm ponsel bunyi, dia langsung angkat careel.
“Kak Hans, aku nggak usah di antar ya!”
“Ooow… jangan-jangan adik kecilku udah janjian dengan cowok lain!”
“Siapa juga yang ada janji. Aku bahkan nggak jadi ke Gramedia. Sekalian besok bareng Papa.”
Hans manggut-manggut.
“Tapi aku pinjam HP dulu ya? HP-ku nggak bisa MMS!”
“Nggak bisa MMS atau memang nggak ada pulsa?” canda Hans sambil meminjamkan ponselnya.
 
Tanpa dia sadari, dia teledor lagi. Lupa lagi, jika dia tak boleh berpisah lama dengan ponselnya. Parahnya lagi, setelah memberikan ponselnya pada Sisi, dia malah main ke warnet. Padahal tiga jam lagi, alarm ponselnya akan “menyuruhnya” berangkat ke sekolah, berkumpul dengan teman-teman untuk kemudian berangkat ke Tana Toraja. Untunglah jika dia kembali dari warnet, sebelum tiga jam. Kalau tidak, perang dunia akan terjadi lagi. Dunia dia dan dunia Gina!
Penyakit Hans memang parah. Di warnet dia tak ingat sedikit pun dengan agendanya untuk berangkat ke Tana Toraja. Dia asyik dengan teman chatting-nya. Apalagi hari Minggu gini, ada diskon spesial. Main tiga jam, gratis satu jam. Hans semakin terlena.
Seandainya nggak maghrib, dia tak akan beranjak dari duduknya. Saking pelupanya, bahkan saat teman chatting-nya bertanya tentang daerah pariwisata yang paling ramai dikunjungi di Sulawesi Selatan, dia belum juga sadar. Padahal dia menjawab pertanyaan itu dengan menempatkan posisi Tana Toraja sebagai posisi teratas yang paling ramai dikunjungi. Bahkan dia mengupas sedikit tentang Londa, gua di Tana Toraja yang dijadikan pekuburan hingga dalam gua itu berserakan tengkorak manusia dan peti mati. Hans benar-benar parah!
Dia baru tersadar setelah jam sepuluh malam, saat Sisi mengembalikan ponselnya.
“Tadi alarm reminder-nya bunyi, tapi Sisi nggak perhatikan ada agenda apa. Toh, kamu lagi di warnet.”
Lagi-lagi Hans memukul jidat! Dia ingin memaki Sisi, bahkan mencekiknya jika perlu, tapi emosinya tiba-tiba menurun dan terduduk lemas saat hot news di TV memunculkan adegan tragis.
Dua bis yang membawa rombongan siswa SMA Sanur dan SMA Harapan, menuju Tana Toraja, terbalik dan tergulir masuk jurang. Menurut saksi mata, dua bis itu saling kebut dan berkesan ugal-ugalan di jalan. Semua penumpang dipastikan tewas, bahkan beberapa di antaranya tak bisa dikenali lagi karena bis terbakar saat tiba di dasar jurang.
Hans mengucek matanya yang basah, untuk menepis kabut yang menghalang di kelopak matanya. Seorang korban yang berhasil dievakuasi bernama Regina.
Dia menangisi kepergian Gina. Tapi juga mencoba untuk mengerti bahwa semua kejadian akan ada hikmahnya. Termasuk sifat pelupanya. Semua punya hikmah, tinggal menunggu waktu untuk mendapatkannya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar