Pesan bijak vikar

Sabtu, 19 Februari 2011

PERTANYAAN & AIR MATA LYRA



Lyra menatap langit senja yang kuning menawan, bertanya-tanya dalam hati tentang arti dari keberadaannya di dunia ini. Lyra menghembuskan nafas, lalu kembali masuk ke dalam gubuk mungilnya, menghentikan sejenak perenungannya. Ia membuat segelas teh manis hangat untuk ibunya tercinta. Ibunya sebentar lagi akan pulang dari kerjanya, beliau pasti akan sangat lelah. Ditaruhnya teh manis itu di meja di depan sebuah bangku kusam, bangku bersantai khusus ibunya. Ia agak tersentak begitu mendengar suara pintu di buka.
     "Mama pulang, mana teh mama?" Ibunya merangsek masuk, terlihat sempoyongan dan sangat lelah. Baju seksinya tak dapat menyembunyikan umurnya yang makin menua. Ketika melihat segelas teh, wanita paruh baya itu langsung menyeruputnya tak sabar.
     "Bu, ajarin Wika bikin cerita!" Gadis kecil itu menghampiri ibunya dan menyodorkan sebuah buku tulis. Ialah adik Lyra satu-satunya, kini masih SD di sekolah gratis.

     "Sama kakakmu aja!" Dengan malas ibunya mengoper tugas ke Lyra.

     Lyra dengan pesimis menatap buku tulis itu. Terlihat sebait tulisan yang begitu rapi, pasti guru Wika yang menulisnya. Namun di pandangan Lyra tulisan itu teracak-acak, tak terdefinisi artinya. Ia tahu mana a, b hingga z, tapi jika huruf-huruf itu sudah berbaris, berderet membentuk kata atau kalimat, otaknya tak dapat merepresentasikan maknanya. Lyra menggeleng lemas.

     "Ah bego qmu!" Ibunya menoyor kepala Lyra dengan kesal. "Buat apa qmu susah-susah mama gedein! qmu bukannya banggain mama malah jadi aib! Lagian susah banget sih lu gue gugurin dulu! Sekarang buat apa lu hidup?" Wanita berpakaian seksi itu terus menghujat Lyra. Kata-kata itu memberi sabetan di hati Lyra, membuat air matanya mengalir. "Dasar anak bego! Bingung gue, kenapa gue harus punya anak kayak loe!"

     Malam mengambil alih langit, menguasainya dengan berjuta bintang memaku. Nyanyian jangkrik sahut menyahut bergema, terdengar hingga ke dalam gubuk mungil Lyra. Saat semua sudah terlelap tidur, ia masih menangis, teringat kenangan buruknya di masa lalu. Saat ia dikucilkan di SD karena tak pernah mampu menulis dan membaca. Saat ibunya dengan penuh rasa malu menghadiri panggilan gurunya karena kelainannya itu. Saat akhirnya ibunya merasa tak ada gunanya menyekolahkannya.


      Lyra menyibak selimutnya, sebelum ditinggalkannya ranjang kumalnya, ia melirik dan mencium kening ibunya yang tidur di sebelahnya penuh kasih. Ia keluar untuk memandang bintang, berharap dapat menenangkan hatinya.

     Hatinya memang sakit mendengar cacian ibunya setiap hari. Tapi demi Tuhan, bukan itu yang Lyra permasalahkan. Ia justru merasa bersalah pada ibunya, menyesali diri yang terlanjur terlahir bodoh dan mengecewakan ibunya. Seandainya bisa, ia ingin membuat ibunya tersenyum bangga terhadapnya, membuktikan bahwa usaha ibunya membesarkannya tidak sia-sia. Sekarang yang terjadi sebaliknya, ibunya malah tampak menyesal melahirkannya. Sekarang pertanyaan itu kembali muncul di benaknya, mengapa ia terlahir kedunia? Mengapa Tuhan tak membiarkannya mati ketika ibunya berusaha menggugurkannya?
     Surya begitu terik menyorot bumi, tubuh kecil Wika berlari semangat menuju gubuknya. Di tangannya terlihat buku tulis usang yang diperlihatkan kemarin. Begitu melihat ibu dan kakaknya di rumah, ia langsung memperlihatkan sebuah halaman kepada keduanya.
     "Bu, kak, aku dapet nilai sepuluh! Kata bu guru ceritaku paling bagus!" Pamer Wika bangga.

     Ibunya yang awalnya asyik masyuk memoles muka, segera mengamati buku itu. "Anak ibu emang pinter!" Spontan Ibu memeluk Wika penuh kasih dan rasa bangga yang membuncah. "Wika nanti gedenya pasti jadi orang sukses! Wika pasti bisa banggain ibu, ngerubah hidup kita jadi lebih enak! Ya kan Wika? Wika kan pinter!" Wanita paruh baya itu memotivasi dengan optimis. "Nggak kayak kakakmu!" Lalu ibu melirik sinis Lyra. "Minta ajarin tu dari adikmu!" Sindirnya tajam. Ibunya kembali menatap Wika penuh sayang. "Wika, ibu berangkat kerja dulu ya! Nanti pas pulang kerja, ibu janji deh bawain bakpau kesukaan Wika!" Janji ibunya itu membuat Wika kecil sumringah dan girang tak terkira.

     Lyra yang dari awal sudah merasa iri dengan pelukan kasih ibunya terhadap adiknya, makin tersakiti. Ia tidak pernah dipeluk mesra, dianggap berharga dan dibangga-banggakan seperti adiknya. Ia bahkan tidak pernah dijanjikan hadiah berupa makanan kesukaannya seperti yang ibunya janjikan pada Wika. Ia selalu dipersalahkan. Lalu kembali pertanyaan itu muncul di benaknya. Mengapa Tuhan membiarkannya hidup hingga kini? Apa tujuannya ia dibiarkan hidup di dunia?

     Lyra menikmati hembusan angin pagi, duduk menunggu seseorang di rerumputan hijau, dinaungi oleh gumulan awan tebal gemuk diatasnya.

     "Kamu sudah disini?" Seorang pemuda mendekatinya, umurnya tidak jauh berbeda dari Lyra.

     "Aku nggak sabar ngelanjutin pelajaran yang kemarin!" Lyra menoleh dan gembira menyadari pemuda itu membawa barang-barang yang disukainya. Kanvas berukuran sedang, seperangkat cat minyak, kuas, dan lain-lain.

     "Kamu memang berbakat! Tapi yang lebih mengagumkan, kamu bersemangat, itu lebih penting!" Pemuda itu memasang tatakan kanvas dan tempat duduk lipat yang dibawanya. "Baiklah, sekarang mau melukis apa?"

     "Taman!" Jawab Lyra. "Kalau aku bisa membangunkan rumah untuk ibuku suatu hari nanti, maka aku akan buat tamannya seperti bayanganku ini. Taman yang berlimpah bunga dan tanaman-tanaman indah bagai dinegeri peri!"

     Pemuda itu tersenyum. "Silakan mulai!" Ia mempersilakan Lyra duduk di bangkunya. Lyra mulai mencari warna yang ia suka dan menorehkannya di kanvas, merubah putihnya menjadi bertabur warna. Dan seperti biasa, hasilnya selalu mengundang decak kagum pemuda itu. Padahal pemuda itu mahasiswa seni di sebuah universitas yang juga berbasis seni, namun ia merasa kalah dengan kreatifitas Lyra. Ia masih perlu pengajar untuk dapat mengajarkannya melukis dengan indah. Namun Lyra bagai mempunyai bakat alam, padahal Lyra tak mendapat pengajaran formal dari siapapun, namun ia bisa melukis dengan penuh estetika dan bernilai artistik tinggi.      Pemuda itu merasa beruntung bertemu Lyra, rasanya bagai menemukan gumpalan batu permata indah yang tersisih diantara batu-batu kerikil hitam. Awal perkenalan mereka bermula ketika pemuda itu melukis di lapangan itu, mencari inspirasi untuk tugas rutinnya melukis. Saat asyik melukis datang seorang gadis, Lyra, memperhatikannya bekerja.

     "Ini apa?" Tanya Lyra menunjuk kanvas yang lebih kecil tercecer di rerumputan.

     "Itu kanvas, untuk melukis!" Sahut pemuda itu cuek, masih berkonsentrasi dengan lukisannya.

     "Kok nggak dipakai?" Lyra kembali bertanya.

     "Kanvas itu terlalu kecil buatku! Aku nggak perlu!" Pemuda itu menjawab, menunjukkan kanvas besar yang sedang dikerjakannya.

     "Boleh aku pakai?" Lyra meminta izin, disambut anggukan malas dari pemuda tersebut. Dengan modal cat minyak pinjaman, ia mulai melukiskan imajinasinya di kanvas itu. Seselesainya Lyra, pemuda itu tercengang melihat karya indahnya.

      Pemuda itu terbangun dari kenangannya, menyadari Lyra sudah merampungkan lukisannya. Tergambar suasana sebuah taman artistik dengan air mancur klasik dan berbagai tanaman bunga mengitarinya.

     "Kamu nggak pulang? Apa nggak ditunggu di rumah?" Pemuda itu memperlihatkan Lyra jam tangannya, membuat Lyra terbelalak, tersadar akan waktu.

     Lyra berlari terburu-buru, ia terlalu asyik melukis hingga lupa waktu. Adiknya pasti sudah pulang sekolah sejak tadi, sedangkan rumah ia tinggal kosong terkunci karena Ibu akan lembur hingga malam. Karena kuncinya ia bawa, ia khawatir adiknya lama menunggu.

     Saat sampai di depan gubuknya ia melihat adiknya duduk menelungkupkan kepala, bersandar ke pintu rumah. Tampaknya ia sudah lama menunggunya disana, rasa kasihan terpanggil di hati Lyra. Ia merasa sangat bersalah, ia mendekati adiknya dan menggoncangkannya, namun tubuh adiknya malah terkulai lemas. Ia baru sadar suhu tubuh adiknya panas, Wika pingsan, bukan tertidur. Ia menggendongnya dan membawanya terburu-buru ke puskesmas. Beberapa tetangga yang melihatnya ikut mengantarnya cemas.

     Ibunya datang ke puskesmas beberapa saat kemudian, salah seorang tetangganya pasti telah menginformasikan bahwa Wika dibawa ke puskesmas. Ibunya langsung menemui Lyra dengan tatapan meminta penjelasan.

     "Maap bu, Lyra...Lyra yang salah! Lyra telat pulang buat ngebuka kunci rumah, Wika udah nungguin lama di luar jadi..." Lyra tergagap menjelaskan, disambut dengan tamparan kasar di pipinya.

     "Qmu emang anak mama yang nggak berguna! Ngejagain adik mu aja qmu nggak bisa!" Wanita itu berkata geram. "Wika itu anak kesayangan mama, harapan mama satu-satunya! Dia pinter, nggak kayak qmu, nggak bisa diharapin!" Wanita itu mulai terbakar emosi.

     Wanita yang masih mengenakan busana pentas itu memasuki bilik perawatan Wika. Wika masih belum terbangun dari pingsan. Menurut dokter ia pingsan karena dehidrasi, mungkin karena lama menunggu di luar rumah.

     "Gue udah tahan-tahanin diri ngadepin kebegoan mu, tapi kali ini qmu udah kebangetan! Bahkan nyawa adik mu sampe terancam begini karena kebegoan mu!" Hardik Ibunya ke Lyra. "Mama nggak pernah ngarep punya anak sebego qmu! Yang gue butuhin itu Wika, cuma Wika! Mama nggak butuh qmu! Andai aja qmu nggak pernah gue lahirin, lu selalu bikin susah hidup mama! Pergi sana, capek mama ngeladenin mu!"

     Lyra tersentak, tak menyangka akan menghadapi kemarahan ibunya yang sebesar ini. Hatinya teriris, terluka. Napasnya sesak tersedak-sedak tangisannya. Ia tak dapat menahan gemuruh sesak dadanya, ia berlari keluar meninggalkan keluarganya, meninggalkan dimensi dunia dan hidupnya selama ini.

Dimensi keluarga yang selalu dihadapinya setiap hari harus ia tinggalkan. Dan kini semakin bergema pertanyaan itu di benaknya. Untuk apa ia dilahirkan ke dunia dan dibiarkan hidup hingga kini, bahkan walau ibunya telah berusaha untuk menggugurkannya? Apakah hanya untuk menjadi anak bodoh yang memalukan?

     Seorang pemuda mendatangi puskesmas dengan cemas, membawa beberapa bungkusan berbentuk papan persegi. Ia menjumpai Wika dan ibunya disana, ia sudah mengenalinya. Ia sempat kaget ketika mendatangi rumah Lyra tadi, menurut informasi tetangganya, keluarga itu sibuk mengurus Wika yang sakit.

     "Maaf bu, Lyranya dimana ya?" Tanya pemuda itu sopan. "Tadi saya ke rumah ibu kok nggak ada orang, katanya semua pergi ke puskesmas!"

     "Siapa kamu?" Ibu itu menatap heran pemuda itu.

     "Saya...Ion, teman sekaligus pengajarnya lukisnya." Aku pemuda itu.

     "Buat apa kamu nyari anak nggak berguna itu?" Sinis wanita paruh baya itu.

     "Nggak berguna?" Ion terkejut mendengar kata itu terucap dari mulut seorang ibu.

     "Anak itu nggak bisa menulis, membaca, bahkan kalah sama adiknya! Nyari duit nggak bisa, disekolahin percuma, cuma jadi pengangguran aja! Malu-maluin! Dan sekarang ia bahkan menyebabkan adiknya begini!" Jelas ibu itu. "Anak bodoh!"
     "Bodoh?" Kembali Ion mengulang dengan heran ucapan ibu itu. "Dia itu bukan bodoh, dia tidak bisa membaca dan menulis karena ia mengidap disleksia!"

     "Disleksia?" Ibu itu balik bertanya heran.

     "Kehilangan kemampuan membaca dan menulis karena kerusakan pada otak, bukan karena dia bodoh!" Ion menekankan penjelasannya. "Seharusnya ibu yang paling tahu soal itu! Anda ibunya!"

    Ibu itu terhenyak mendengarkan ucapan pemuda itu. Sedikit penyesalan timbul di nuraninya. Ia merasa bersalah, kalau memang itu benar, berarti seharusnya ia yang dicap sebagai ibu yang bodoh, tidak dapat mengerti dan menerima keadaan anaknya sendiri. Jika itu penyakit, berarti selama ini ia begitu kejam merendahkan dan menghardik Lyra hanya karena keterbatasannya. Ibu itu baru sadar ia salah, ia benar-benar salah. Ia bahkan tidak tahu tentang penyakit yang diidap anaknya itu sebelum orang lain yang justru menjelaskannya.

     "Dan Lyra tidak bodoh, dia justru jenius!" Ion dengan tak sabar membuka bungkusan berbentuk persegi yang dibawanya. Ternyata isinya beberapa lukisan yang begitu mempesona. Ibu itu awalnya heran melihat gelagat Ion dan tidak mengerti apa maksudnya."Ini semua lukisan Lyra!" Umbar Ion mantap, semakin membuat ibu itu tercengang. "Dan ini!" Ion menunjukan lukisan bergambar sebuah rumah mewah bak istana, terpoles dengan warna-warna lembut yang seakan penuh cinta. "Lukisan Lyra ini laku ditawar seharga 50 juta dalam lelang umum yang diadakan kampus saya!" Jelas Ion. "Dan ini..." Bagai kerasukan, ia meraih satu lukisan lain yang bergambar sebuah kamar mewah bergaya romawi klasik  dengan furniture berukir indah dan terlihat kokoh. "Lukisan ini bahkan berani ditawar 100 juta oleh seorang kolektor seni saat tahu pelukisnya pengidap disleksia!" Ion seolah belum puas, mengambil lagi sebuah lukisan, lukisan terakhir Lyra. "Dan ini, lukisan ini berani ditawar 200 juta dalam lelang pelukis pemula!" Ion menegaskan. "Masih banyak lukisan karyanya di galeri saya, dan saya tidak berani membayangkan harganya jika dijual! Saya kesini untuk meminta izin menjual lukisannya yang sudah laku ditawar orang ini! Hasilnya akan saya beri ke ibu!"

     Ibu itu menatap semua lukisan itu takjub, apalagi mengingat nominal harganya. Ia tak percaya anaknya mampu membuat lukisan seindah dan seberharga itu. Anak yang selama ini terus dihina dan diremehkannya ternyata dapat membuat karya yang begitu berharga.
     "Dan tahu maksud semua lukisan itu apa?" Ion menambahkan. "Ini adalah penggambaran semua yang ingin ia beri untuk ibu suatu hari nanti jika ia mampu!" Ion mengeja dengan jelas setiap kata dalam perkataannya. "Rumah ini adalah rumah yang ia ingin bangun untuk ibunya, beserta taman ini sebagai halamannya. Kamar yang mewah ini adalah kamar yang akan ia persembahkan untuk ibunya." Ion lalu melirik satu bungkusan yang belum dibuka, bungkusan paling besar. "Dan ini penggambaran satu hal yang paling dirindukannya!" Jelas Ion sambil membuka bungkusan itu. Dan terpampang jelas gambar seorang ibu yang memeluk anaknya penuh sayang, yang tidak lain ialah Lyra dan ibunya. "Hanya ini, sesuatu yang ia harapkan ibu beri untuknya!"

     Tak pelak mengalir deraslah air mata penyesalan di wajah wanita paruh baya itu. Bagaimanapun ia tetap seorang ibu, namun ia merasa belum pantas disebut ibu yang baik. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali memeluk Lyra dengan penuh kasih sayang.

     "Ibuu!" Panggil suara dari dalam bilik perawatan, Wika pasti sudah sadar. Ibu itu menghampiri anaknya bersama Ion. "Kok ibu nangis? Kak Lyra mana bu?"

     Ibu itu mengusap air matanya, berusaha menyembunyikan kepedihannya. "Kenapa, kok Wika langsung nanyain kak Lyra?" Tanya ibu itu lembut.

     "Aku lupa bilang terima kasih ke kakak bu! Sebenarnya cerita aku yang dapat nilai sepuluh itu kakak yang karang! Kakak ceritain ke aku, terus aku tulis! Ternyata cerita kakak emang bagus!" Wika berceloteh semangat. "Aku bangga sama kakak bu! Kakak pinter!"Ibu itu terhenyak kembali, ekspresinya kini berubah menjadi kalut. Dengan panik ia berbalik, bersiap untuk pergi.

     "Mau kemana bu?" Ion mencegatnya heran.

     "Nyari Lyra! Anakku!" Ucap ibu itu linglung. "Aku nggak mau kehilangan dia!" Penuh bingung, ibu itu mengepak-ngepak dan langsung pergi.

     Ibu itu sampai di rumahnya, disambut keheningan. Tak nampak siapapun di dalam, Lyra tak ada disana, begitupun pakaian-pakaiannya yang sekejap hilang di lemari. Ibu itu merasa kakinya lemas, ia terpekur, berlutut, merasa menyesal. Ion yang mengikutinya menabahkannya.
     Ibu itu merenung di balkon, menatap langit pagi yang biru sejuk. Rumah itu megah, besar dan indah. Rumah inilah wujud karya Lyra di lukisan tersebut dan hasil dari penjualan lukisan-lukisannya. Inilah jawaban dari pertanyaan di benak Lyra selama ini, alasan kehadirannya di dunia, yang tidak lain untuk membahagiakan ibunya. Kini ibunya tidak perlu lagi menjadi penyanyi dangdut panggilan, harkat dan kehidupannya sudah terangkat berkat hasil kerja Lyra. Ibu itu menyadari kehadiran seseorang di depan pagar rumahnya.

     "Eh Ion, ayo masuk nak!"

     Ibu itu dan Ion duduk berdua di ruang tamu besar, dari jendela kaca besar terlihat taman indah yang dirancang Lyra di lukisannya. Mereka menerawang memandang langit, mengingat seseorang yang mereka rindukan.

     "Sudah 1 tahun nggak ada kabar dari Lyra!" Ibu itu memulai pembicaraan.

     "Saat langit seperti ini...biasanya Lyra sedang menunggu saya di lapangan." Gumam Ion.

     Ibu itu tersentak, "Kenapa kamu nggak cari dia aja di tempat kamu dan Lyra biasa ketemu?" Idenya.

     "Sudah setiap hari bu, saya bolak balik ke tempat itu di waktu seperti ini. Dia tetap tidak muncul." Ion menggeleng lemas. "Apa polisi sudah menemukan petunjuk keberadaannya bu?"

     "Nggak! Nggak ada kabar! Polisi masih terus mencari!" Jawab ibu itu pasrah. "Dimana sebenarnya Lyra sekarang?" Ibu itu bergumam lirih.

     Pertanyaan di benak Lyra sudah terjawab. Namun di suatu tempat mungkin Lyra sendiri masih terus bertanya tentang pertanyaan di benaknya itu. Kini yang tertinggal di benak orang-orang yang menyayangi Lyra adalah sebuah pertanyaan baru. "Dimana Lyra sekarang?"

     Tiga tahun kemudian. Ion menatap monitor laptopnya, mengetik dan terus mengetik, itulah pekerjaan rutinnya belakangan ini. Skripsinya berkejaran dengan waktu deadline, Ion semakin dekat menuju ke impian besarnya. Skripsinya terinspirasi dari seorang Lyra, anak miskin biasa yang perlahan terungkap memiliki bakat yang luar biasa. Saat sedang berkonsentrasi, dering HP mengganggunya. Ia meraih HPnya dan mengangkatnya lemas.

     "Halo?"...Ia mendengar seseorang memperkenalkan diri sebagai polisi di ujung sana. Tak lama kemudian terdengar pekikan. "Apa? Lyra sudah diketahui keberadaannya?" Ion tersenyum gembira. Hampir melonjak kalau saja ia tak ingat umur.

     Ia menghubungi bu Aina, ibunda Lyra. "Bu! Polisi sudah mengetahui keberadaan Lyra! Mari kita jemput kesana bersama!"

     Di tempat berbeda di ujung telepon, ibu itu hanya tersenyum simpul. Ekspresi wajahnya bertambah bijak sekarang. "Nggak nak, kamu sendiri aja! Biar ibu disini saja!"

     Ion tercekat "Tapi..."

     "Biar ibu yang siapkan penyambutan untuknya!" Lanjut ibu itu menenangkan. Ion segera paham dan ikut tersenyum.Ia mendatangi tempat yang disebut oleh pihak kepolisian, tempat dimana seseorang yang diduga Lyra sering terlihat. Tempat itu adalah…
     "Sekolah dasar?!?!" Heran Ion. Ini sekolah swasta terkemuka. Entah apa benar penyelidikan polisi yang mengaku melihat Lyra disini.

     Sekarang sudah waktunya pulang sekolah. Beberapa siswa terlihat langsung berhamburan pulang. Namun masih banyak juga yang tinggal di sekolah, menjalani ekskul atau aktifitas lain.

     Ion menyusuri koridor sekolah ragu. Memperhatikan satu demi satu ruangan dari jendela dengan teliti. Hingga dilihatnya sebuah ruangan berisi anak-anak dengan buku gambarnya. Seorang pengajar memandu di depan, wanita berbusana rapi dan elegan. Begitu gemulai gayanya mengajar menggambar, ia kenal sosok itu, walau sekarang agak pangling dengan penampilannya yang semakin dewasa, cantik dan elegan.

     "Lyra?!" Sapa Ion tak percaya dengan penglihatannya. Selama ini ia merasa kehilangan sosok Lyra yang tak dapat diraihnya, sosok impian yang selama ini dicarinya dan diidamkannya. Ia pungguk dan Lyra bulannya, dan sekarang ia merasa bagai pungguk mendapatkan bulan, tepatnya menemukan kembali bulannya.

     Kini keduanya terlarut dalam nostalgia lama di lapangan rumput menghijau itu, namun kali ini tanpa kuas, tanpa kanvas. Hanya ditemani hela angin berhembus memanjakan.

     "Akhirnya aku temukan kamu!" Ion memecah keheningan.

     "Senang rasanya menyadari ada juga yang mencari aku!" Lyra merendah.

    "Tentu saja! Semua mencari kamu! Adikmu, ibumu!" Ion menjelaskan.

     Lyra tersenyum lemah, "Tapi mereka pasti lebih tenang tanpa aku! Beban mereka bisa berkurang!"

     "Kamu salah Lyra!" Ion menggeleng. "Pulanglah!"

     "Aku merasa sudah menemukan tempatku! Aku sudah menemukan jawaban tentang arti hidupku yang selama ini kupertanyakan!" Lyra berucap. "Di sekolah itu! Di sanalah tempat aku bisa bermanfaat bagi orang lain! Disana aku tak membebani siapapun! Disanalah aku seharusnya berada! Demi kedamaian ibu dan Wika, dan demi murid-murid yang memerlukanku!" Ia menatap mata Ion dalam, "Maaf! Aku ingin tetap menjalani hidupku seperti sekarang!"

     "Tapi kalau begitu kamu menghancurkan impianku!" Ucapan Ion barusan membuat Lyra terguncang, terbelalak.

     "Sebelum aku mengenalmu, sejak dulu sekali, aku punya satu impian besar. Aku ingin diwisuda, meraih prestasi, dan melihat orang tuaku berada disana, mereka hadir dengan busana terbaik mereka, menatapku bangga." Cerita Ion perlahan. "Tapi setelah kamu datang, impianku berubah." Ion memutar bola matanya. "Well, tepatnya sih bertambah. Aku ingin diwisuda, meraih prestasi, melihat orangtuaku dan gadis yang kucintai berada disana. Mereka hadir dengan busana terbaik mereka, menatapku bangga." Ion menatap Lyra. "Tiga bulan lagi Lyra! Tiga bulan lagi acara wisuda itu akan digelar! Impianku hampir terwujud!" Ion merogoh kantungnya, mengeluarkan kotak berbentuk hati yang indah berselimut satin merah ke arah Lyra. "Jadi maukah kau melengkapi mimpiku?" Pantulan sinar dari cincin indah yang terlihat glamour itu sungguh menggoda.

     Lyra tercengang, tak berkedip. Ia tak percaya ini ditujukan padanya. Ia sebenarnya tahu Ion pemuda yang baik, terlalu baik untuknya malah. Karena itu, ia tak yakin pemuda ini akan tertarik padanya. "Ion...Kamu tampan, terpelajar...tapi seleramu buruk!" Ucap Lyra ragu.

     Ion terkekeh, "Justru selera seniku sangat tinggi sampai bisa menemukan permata indah di tengah-tengah kerikil seperti kamu!"

     "Aku...aku yakin kamu salah orang! Aku bodoh, bukan dari kalangan terpelajar, masa depanku tidak jelas, basic keluargaku pun tidak jelas, aku miskin. orangtuamu nggak mungkin suka denganku! Aku nggak pantas..." Lyra berceloteh panik.

     "Justru orangtua kita sudah saling mengenal dan saling membantu! Dan...miskin kamu bilang?!" Ion terkekeh. "Kamu sudah 4 tahun menghilang, kamu sudah banyak ketinggalan informasi, sebuah sudah banyak berubah! Kamu belum tahu aja seberapa kayanya keluargamu sekarang!" Ion menikmati wajah heran gadis di depannya. "Mau bukti?" Ion menantang. "Kalau begitu pulanglah, ibumu merindukanmu, begitu juga adikmu! Mereka susah mencarimu kemana-mana selama 4 tahun ini!" Ion memohon.

     "Bukannya kepergianku itu yang ibu inginkan?" Lyra tak percaya dengan kabar itu.

     "Tidak sama sekali! Justru merekalah alasan kenapa kamu dilahirkan di dunia! Mereka membutuhkanmu, begitupun sebaliknya!" Ion mencoba membuka pikiran gadis itu. "Kamu sudah berhasil membuat ibumu bangga, membuat kehidupannya menjadi lebih baik, bahkan mengangkat derajatnya!" Ion menekankan ucapannya. "Semua impianmu sudah tercapai, karena itu ibumu kini menunggumu di rumah! Mempersiapkan pelukan terhangatnya untukmu!" Ion menatap dalam kedua mata bening di depannya. "Apa kamu nggak kangen ibumu dan adikmu?"
     Mata indah Lyra yang terlanjur berkaca-kaca mulai meneteskan air mata. "Kangen banget!"

     Mobil Toyota Altis itu terhenti di halaman sebuah rumah yang sangat mewah dan indah.

     "Aku tidak tahu kalau rumah di lukisanku itu ternyata benar ada!" Ucap Lyra polos sambil masih mengamati rumah itu takjub. "Rumah siapa ini?"

     Ion tersenyum geli, "Ini rumahmu Lyra! Inilah istanamu, ibumu dan adikmu! Tempat dimana kamu seharusnya berada.”

     Dan terlihatlah sosok wanita setengah baya yang dirindukan Lyra, keluar dari pintu besar rumah dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Mempersiapkan pelukan terhangatnya. "Selamat datang Lyra, puteriku tercinta!" Ucap ibu itu menahan tangis harunya. "Maafkan ibu! Kamu sudah cukup menghukum ibu dengan meninggalkan ibu entah kemana, sekarang ibu menyesal! Maukah kamu memaafkan ibu yang bodoh ini nak?"

     Dan menghamburlah Lyra ke pelukan itu. "Makasih bu! Ibu nggak perlu minta maaf!"

     "Bu, aku juga mau gantian peluk kak Lyra!" Suara polos di sebelah mereka menyadarkan mereka dari keharuan. Wika kini sudah bertambah dewasa. Ia bahkan sudah menjelma menjadi seorang gadis kelas 1 SMP. Lyra hampir tak mengenalinya.

     Hari yang dinanti akhirnya tiba. Semua wisudawan dan wisudawati telah rapi memakai baju khas wisuda dan toga. Wajah-wajah mereka tersenyum dan tertawa gembira, tak ada yang muram merana. Ion termasuk diantaranya. Ia siap menunggu namanya dipanggil di panggung untuk pengalungan medali dan pemberian ijasah. Nun jauh di bangku penonton sana dua keluarganya hadir, tentu bersama gadis yang paling dicintainya. Gadis itu dengan elegan mengenakan kebaya merah muda dan menjelma menjadi gadis teranggun di dunia, jauh melebihi Miss Universe di mata Ion. Di tangan gadis itu dan Ion, berkilau-kilau sepasang cincin serupa bertahtakan permata dan cinta.

     "Kak!" Wika memanggil Lyra dengan wajah penasaran.

     "Apa?" Lyra menjawab lembut.

     "Katanya kak Ion Cum Laude...Cum Laude apaan sih?" Tanya Wika dengan wajah lugunya. Kedua keluarga, keluarga Lyra dan Ion, tertawa bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar